Selasa, 24 Desember 2013

Pria Desember



Desember dan hujan menjadi pasangan yang kian hari kian mesra, di tanah Lampung tempat semua cerita bermula, tempat kita saling sebut nama, bercerita dan kemudian menjadi teman yang setia.

Desember dan kamu, seperti kalimat yang tak cukup padu. Yang satu kelabu sedangkan yang lain berwarna merah jambu.

Cerita usang yang lagi-lagi ingin kubagikan, tak disangka ternyata memori tentangmu membuatku kian semangat bercerita.

Satu-satu coba kupisahkan, ku tarik benang kenangan, kali ini apakah kau penasaran tentang cerita mana yang akan ku tuliskan ?

Senin, 02 Desember 2013

Bagaimana nanti ?


Bagaimana nanti, mari saling jadi pelaku dan saksi.
Bagaimana nanti teruslah bertahan pada jalan kebenaran.
Walau banyak filosof yang kemudian memainkan kata untuk membuat kita ragu tentang apa itu kebenaran sebenarnya ?
Mungkinkah semua hanya imaji ?

Namun kau yang sekarang harusnya mampu menjawab dengan kepala tegak, dan binar dari kedua bola mata.
Kebenaran telah terasa kian kencang mengikat aliran darah, saat sayup terdengar tilawah dan hafalan al quran bergema ditiap sudut surau itu.
Saat tiap sapa berbuah senyum yang lebih manis dari wajah-wajah cerah.
Saat kau tak lagi ragu berbagi tawa dan tangis.
Ini kebenaran itu, kebenaran ukhuwah berbalut akidah yang telah dijanjikan oleh para pemegang panji amanah.

Mendadak Rindu


Ada fenomena baru, dimana menebak nebak rupa dan nama jodohmu menjadi semacam aktivitas seru penghabis waktu.
Ada cara baru berlindung atas nama kerinduan seorang lajang, kemudian merasa bebas menyebarkan virus kegalauan.
Dan yang paling menyedihkan daripada semua ribut-ribut di atas adalah, sepasang manusia yang memahami hukum pergaulan islami, yang tiap ucap berisi tausyiah islami dan raga yang berbalut pakaian syar'i mesti terjebak pada diam yang saling memikirkan, kemudian mulai menjalin hubungan. Sayangnya untuk fenomena yang terakhir hampir semua pelaku ketahuan.

Aneh memang, terlebih bagi yang telah mengerti. Bukankah kedewasaan ilmu, mestinya membuat kian patuh dan tunduk karena tlah tahu konsekuensi atas laku yang takutnya malah jadi pembenaran dan tokoh peniruan.

Selalu ada pilihan. Menikahlah jika telah mampu dan tak lagi sabar. Jika masih begitu banyak pertimbangan, ketakutan dan amanah yang mesti dikerjakan, berpuasa menjadi perisai dari terjebak dalam momen-momen yang termanfaatkan sebagai ajang kemaksiatan.

Boleh membicarakan tentang pernikahan, tapi bukan tentang jodoh yang belum ketahuan.
Mendadak rindu, mendadak tundukan kepalamu.

Jumat, 22 November 2013

Si Bungsu



Gadis itu mengenakan kerudung putih, duduk di tengah kawan-kawan yang menunggu jadwal kuliah kami ditetapkan.
Hari-hari awal kuliah, memang masih begitu lengang dari proses belajar mengajar.
Tawanya lepas, dan tak jarang ia terkikik hingga mengeluarkan air mata.
Kami berkenalan dan menjadi teman.

Semester lima di hari jumat tanggal 22 November, matanya berkaca-kaca, kali ini bukan karena tawa. Ada lelah dan pilu di wajah cerianya.
Sakit. Betapa sakit tak lagi memilih hari, dia sakit dihari kelahiran dimana tiap doa terlantun berharap kesehatan untuknya.
Namun di tengah sekaan tangan pada tiap genangan air mata yang keluar, masih sempat ia tersenyum tulus sambil berterima kasih atas tiap ucapan selamat dan doa terbaik baginya.

Aku pun haru. Betapa masih banyak hal yang harus ku tiru darimu, sahabatku.
Betapa tiap coba kau hadapi dengan tawa dan tanpa keluh.
Pernah kau berkata padaku "Masalahmu belum ada apa-apanya, nit"
Aku tahu bukan maksudmu menyinggung atau menyepelekan, itulah kau. Caramu berbeda untuk berharap temanmu kembali kuat dan semangat.

Meski telah lama saling kenal tak banyak cerita mau kau bagi dengan sekarela, selalu kau ciptakan sekat dimana kau bisa sendirian menikmati tiap masalah dan berharap ada solusi.
Dan aku menghormati caramu.

Teruslah kuat, dep. Jadilah si bungsu pemberani yang membanggakan orang tua dan kedelapan saudaramu.
Kian dewasa, bahagia dan sholehah.

Dariku, tulip merah yang pemalu dan pendiam :)

Selasa, 19 November 2013

Kita mulai dari keluarga

Umurku masih 8 tahun saat itu, agak samar kuingat wajahnya. Ia ku panggil Sidi, yang berarti kakek dalam Bahasa Lampung.
Melihatnya lemah terbaring di atas kasur busa yang di letakkan di lantai, tanpa dipan.
Setiap aku berkunjung, ia dangan senyum yang samar akan bertanya dengan suara lirih, di tengah kegelapan kamar " Mega, sehat ? "
Mega adalah panggilan kesayangannya untukku. Megawati, karena ia ingin aku berani seperti presiden wanita pertama republik ini.

Mata ku berkaca, meski belum terlalu mengerti. Aku tahu kepeduliannya di tengah sakit yang tengah ia rasakan, menggetarkan hati tanpa perlu aku mengerti lewat logika.

Kini setelah dewasa dan cukup mengerti, aku mencari tahu perihal sakit yang dideritanya. Rematik. Mungkin terdengar ringan bagi banyak orang di kampung kami. Seolah sudah biasa dan tak perlulah sampai harus diperiksa ke rumah sakit yang ada.


Namun rematik pulalah yang kemudian melumpuhkan kakek ku, bersama dengan penyakit lain bergumul memecah imun. Membawanya pada ketiadaan, pada berhentinya tiap perjumpaan yang diusahakan oleh aku dan Papah, sebulan sekali, jadwal yang telah ada untuk mengunjunginya, berubah menjad takziah dengan bertumpuk doa dan rindu di depan makam.

Kesadaran akan kesehatan terutama oleh mereka yang dhuafa memang masih begitu memprihatinkan.
Begitu mudahnya menggampangkan gejala yang ada, dianggap hanya dampak kelelahan dari pekerjaan berat yang dilakukan seharian.

Mensosialisasi pentingnya kesadaran untuk menjaga kesehatan adalah pekerjaan rumah kita saat ini, generasi muda saat ini. Dimulai dari keluarga hingga bangsa.

Sedikit cerita, berbagi di blog mini. Semoga bermanfaat.

Sabtu, 16 November 2013

Metamor Kita


Bicara tentangmu, memaksaku menengok masa lalu.

Betapa telah jauh kita melangkah, telah begitu banyak kenangan yang kita tinggalkan dan kerinduan untuk mengulang.

Perjumpaan awal dalam balutan seragam putih biru. Kita berteman, terjadi begitu saja. Tanpa pernah kita rencanakan bahkan aku tlah lupa apakah kita pernah benar-benar berkenalan saling menyebutkan nama dan berjabat tangan.

Dan kini dalam bingkai jas almamater hijau tua, bukti kita telah melangkah kian jauh dari masa penuh canda dan tawa tak kenal waktu, tempat dan suasana.

Minggu, 10 November 2013

Jalan Cahaya


Setiap kali hendak singgah ke tempat baru, ada saja yang pertanyaan yang mengganggu ku, apakah nanti akan ku temukan senyum yang sama, sapa yang indah dan kata nan lembut dari teman sebaya ?

Dan kehadiranmu beserta mereka adalah jawaban atas kegelisahan. Kau adalah salah satu kado yang ku syukuri karena telah menemani. Terima kasih telah ada, selalu dengan senyum yang sama, yang tak juga luntur meski amanahmu melimpah ruah, yang tak juga berganti masam meski kadang ku temukan banyak hal yang mesti kau pikir dan kerjakan.

Seperti sepenggal judul lagu yang kau titipkan namaku di dalamnya, semoga perjalanan ini adalah jalan menuju Ridho Nya, semoga proses ini adalah proses mendekati Nya, meneladani Rasul dan langkah bakti bagi orang tua tercinta.

Jalan Cahaya yang kemudian membawaku, membawamu, membawa kita bertemu kelak di pinggir sebuah telaga nan jernih, udara bersih dengan sepoi halus angin yang menggerakkan perlahan ujung-ujung hijab ungu ku dan merah muda mu.
Kita saling tersenyum dan bercerita, duduk melingkar ditemani senyum yang begitu familiar dari mereka yang juga telah menemani dan setia.

Lalu kita bersenandung bersama
dihati terus bersemayam
ukhuwah selalu terpatri
tiada yang memisahkan
hingga akhirnya kita bersua lagi


-Kata mu puisiku indah, tapi bagiku mengenal dan bersaudara denganmu jauh lebih indah-

Jumat, 04 Oktober 2013

Elegi Rasa II



Ada yang pergi, lalu aku hanya akan mengais sisa-sisa rasa, bau dan tiap napas yang ia sisakan untuk ku hirup pelan-pelan sambil merasa candu akan hadirnya, perlahan wajahnya, tubuhnya akan terlihat nyata untuk kemudian berlarian menghilang bersama asap, bersama embun dan desah napas kecewa karena hanya mata yang terpuaskan sedang diri tak bisa lagi saling bersenyawa.

Ada yang tinggal, sambil sesekali memanjang-manjangkan leher untuk melihat sejauh apa aku telah berjalan meninggalkan.
Kemudian terduduk, menangis dalam isak kecil satu-satu dan usapan wajah asal-asalan, tak boleh ada yang tahu bahwa baru sebentar berjalan namun telah saling merindukan.

Ada dua hati, dua pribadi yang saling iri pada kepakan sayap sepasang burung merpati, terbang, tanpa perlu memendam dan berpura memajang senyum yang tlah sama tahu tak lagi berarti menghibur dan mengikhlaskan.

Minggu, 29 September 2013

Ada Batas


Ada batas, yang meski kau susuri jalan panjangnya dengan sabar tanpa keluh dan istirahat di pertengahan, tak bisa sampai, tak mampu bertatap, menyentuh juga berjabat.

Ada jarak yang meski kau buka matamu lebar-lebar tak tertangkap cahaya wajahnya diretina, yang tak terdengar meski kau ucap kata lewat suara keras hingga habis dan serak.

Ada takdir yang meski kau tangisi, kau hujani berbagai penolakan atau kata-kata pembohongan tetap tak mampu kau hindari, tak bisa kau jauhi hingga satu-satunya cara kau mampu keluar atas segala penolakan hanya dengan menjalani.

Kamis, 26 September 2013

Realita


Kadang realitas dunia itu memuakkan, kawan.
Tak menerima yang terlalu putih, namun juga mencela yang hitam.
Membenci yang pintar, juga enggan berdekatan dengan yang malas.
Berorasi hak asasi di jalan; membentak anak-anaknya dirumah.
Berkata lembut pada orang lain, namun kasar pada keluarga.

Banyak hal yang tak ku mengerti.
Apalagi saat kau tanya mana yang benar, mana yang salah ?
Terlalu abu-abu untuk kulihat, membingungkan untuk ku pecahkan teka-tekinya secara singkat, dan kadang aku terlalu acuh untuk mencari tahu.

Namun tahukah kau, kawan.
Ada zat besar di semesta ini, yang menguasai, yang mengatur.
Yang membuat kita mesti sujud patuh, menghamba.
Ia pencipta, menggaris aturan, memaafkan kesalahan seumpama penghapus, menghapus kesalahan goresan tulisan.
Ia Maha Indah menginginkan kita indah dalam suci kebaikan. Dan kebaikan itu kau boleh baca, pahami dan ikuti melalui yang tertanam dalam kalamnya.

Kalau kau tanya apa itu benar dan seperti apa yang salah ?
Kini aku bisa menjawab dengan sodaran senyuman dan tangan membawa Quran.

Bacalah. Kau kan dapati jawabnya langsung dari ia Sang Maha Penjawab Tanya.

Rabu, 14 Agustus 2013

Lelaki Kakakku.


Gadis itu hari ini  menggeleng tegas, tak seperti hari-hari kemarin.

Cukup, ta. Ujarnya. Aku kalah, kita berhenti, dan untukmu terima kasih karena tlah bersedia menemani.
Aku diam, mencoba mencari sedikit celah keraguan dari dua bola mata berwarna hitam gelap miliknya.

Setelah sejauh ini, si ?

Sebelum aku kian tak terkejar dan masuk pusaran delusi yang kian besar dan gelap, semua masih bisa terselamatkan, masih ada yang bisa aku perbaiki selebihnya hanya akan aku coba tinggalkan disini.

Payung besar yang menutupi tubuh kurus berlapis kulit yang telah mengkerut, keriput, digenggamanku sejenak kusandarkan pada tanah lusuh berpasir putih dengan debu pekat berterbangan disapu angin, aku ingin mengambil jeda menggenggam tangannya, mencoba menguatkan.

Selasa, 23 Juli 2013

Drama Mentari


Senja memutus jumpa, kala mentari dengan tangisan di wajah berbalik dan menyimpan sajak-sajak air mata yang hampir tumpah.
Air laut bergolak, menolak perpisahan yang dengan kuat terjadi karena gejolak cemburu yang demikian kuat.
Bulan dengan digdayanya bersinar, diantara kelam isak mentari di seberang dan angin yang tertiup kencang sibuk menenangkan amarah sang lautan yang lelah dan muak atas segala drama perpisahan yang kian tak memiliki kesudahan.

Sedangkan manusia yang merasa paling cerdas menginterpretasikan segala emosi yang terjadi, malah bergumam dengan senyuman, betapa indah mentari yang terbenam, riak-riak gelombang ombak lautan dan sinar bulan yang kian cemerlang.

Minggu, 21 Juli 2013

Jeda


Kaki-kaki kecilku kian berjarak dengan kaki-kakimu yang panjang, melangkah lebar-lebar.
Kucoba ikuti, berlari kian kencang, wah punggungmu kian mengecil hingga untuk menangkap cahayamu diretina, pupilku mesti melebar hampir keluar.

Selalu begitu, kau memang selalu melangkah duluan, membanggakan dan penuh semangat juang.

Kau berbalik, menungguku dengan tarikan bibir penuh tulus dan pengertian.
Maafkan aku mesti membuatmu selalu mengambil waktu untuk berhenti.
Namun diantara jeda kaku karena aku gagu untuk memulai bicara, kau selalu dengan tenang berkata
"Tak apa, jeda ini begitu syahdu bukan ? Membuat kita menghela segala kesibukkan dan impian yang kian sesak memenuhi punggung-punggung kecil yang terkadang lelah terus membungkuk dan gamang. Aku menyukainya, menyukai bagaimana kau dengan sederhana laku seolah berseru, hentikan sejenak segala polah, bukan menyerah hanya tak masalah bukan mengaku sedikit lelah ?"


Sabtu, 13 Juli 2013

Haru, Kamu


Malam kian kelam, diri makin kecil. Terasa malu hingga bisu, Rabbku.
Betapa cintaMu menggetarkan, terlisan lewat kata dan perbuatan.
Ia berbinar dengan ayat-ayat suci melantun, lurus penuh khusyuk, getar merasuk.

Kasih sayangMu tak pernah memilih pelaku, ia hanya berlalu pada yang tak tahu malu dan terpaku pada ia yang takut dan harap bertemu.

Jumat, 12 Juli 2013

Delusi


Berhenti bisu, kali ini bolehkah kami minta kuasamu ? Kalau boleh, tolonglah ditoleh, bukankah kewajibanmu, yang katanya pemimpinku  ?
Meringankan, mencintai kami hanya ingin berbagi, menyalakan asa ditengah gulita, agar mereka tahu dan yakin bahwa masih ada yang peduli.

Kamis, 11 Juli 2013

Rayu


Merdu merayu, lagi-lagi kamu. Langit biru membisu, rindu. Menari ditengah air yang mengalirkan beku, kaku.

Semua keahlianmu, lelakiku.

Denganmu tak perlu memandang elok langit biru cukup diam-diam memandang dibalik dinding siluet dari garis rahang keras namun terbalut sedikit tarikan bibir kanan kiri, aku bisu.
Tak perlu lagi menari ditengah percikan air, deras kuyup, cukup menangkap resonan getar suaramu ditelinga, aku kaku.

Membuatku bergerak menuju dimensi pujangga yang dulu tak terbaca, tergeilitik malu membaca syair, ditengah gelap malam ditemani sebatang lilin romantis berwarna merah muda.
Mulai menapaki warna-warni dengan senyum kecil dan gumaman lirik lagu-lagu cinta.

Ah, akibat si merah muda. Aku lupa usia.

Untukmu Ayah


Untuk tiap janji yang tak kau ingkari, terima kasih abi.
Untuk tiap lelah yang tak kau keluh, ku bantu kau usap peluh.

Menatapi banyak kisah tergores bahwa cinta kadang berujung derita.
Mencintai bisa jadi alasan basi, dan melukai menjadi opsi yang tak teringkari, saat hati tlah saling pikun akan alasan untuk mendayung berbagi perahu maka yang tinggal hanya semu penyesalan bahwa pilihan kadang bisa salah dibelakang. Pembenaran.

Tak bisa menutup mata, karena korban bahkan dengan tersandung dan kepayahan mencoba bergerak perlahan, sadar bahwa semua berubah, karena pegangan dan pedoman tlah berbalik mencari pelarian.
Dilema, karena kita tahu tak pernah ada niat diawal, adapun, mati-matian ditiup hingga padam, namun apadaya saat masa perlahan mengaburkan rasa maka tinggal menanti salah satu memutuskan pergi. Miris.

Selasa, 09 Juli 2013

Terjebak


Kelak jika ekor mata tak sengaja saling bertubrukan hingga menghasilkan cahaya tanda terpeta wujud antar kita, hanya menunduk atau alihkan netramu.
Karena kita tlah saling tahu, rasa ini tabu. 
Terjebak dalam pusaranya hanya membuat kita mencari pembenaran semu, terjepit waktu yang kemudian memaksa kita lari dari kecemasan-kecemasan teriakan hati yang terus saja memaksa akhiri semuanya, karena hati tlah tahu dan memberi sinyal bahwa kesalahan tak semestinya terus ditasbihkan.

Tlah banyak contohnya bukan, yang mundur, yang kembali hilang dari gegap teguh jalan juang, hanya karena rasa getar pada ciptaanNya begitu mendominasi, membuat niat, semangat dan jalan yang telah disusuri menjadi tinggal kenangan.
Saat ujung perjuangan masih begitu jauh dan kelelahan tlah begitu mendominasi karena tak kunjung dipahami dan terekam dalam pandang.
Jangan biarkan lagi ada yang terjebak. Jangan dengarkan lagi bisik nikmat semu yang ditawarkan hasrat. Biar ia tersesat sendirian, bersama dosa, terkubur dalam-dalam.

Senin, 08 Juli 2013

Pengorbanan


Untukmu pria-pria obral kata yang dengan bangga berkata “ Bukankah sudah kukorbankan segalanya bagimu, wanita ? Tidakkah kau merasa, cintaku padamu sebesar bla bla bla, setinggi bla bla bla..

Stoplah, menggombali anak gadis orang yang jelas tak halal bagimu, berkatalah cinta pada Ibu, berkorbanlah untuk saudari kandungmu, dan bekerjalah dengan penuh ikhlas hanya untuk yang jelas darinya kau mendapat ridho Sang Kuasa.

Bicara tentang berkorban, sudahkah kau tahu betul artinya ? Jika bicara tentang pengorbanan, tengoklah siroh dimana kau tahu Ali sepupu Nabi, termasuk dari sepuluh orang pertama yang masuk islam, yang dicinta dan mencinta Alloh, dicintai dan mencintai Nabi, yang dengan keikhlasan rela menggantikan sang nabi, tertidur diatas pembaringan, diluar algojo-algojo yang tertutup mata hati dengan uang yang ditawarkan Quraisy Mekkah tengah menunggu, dengan pedang-pedang panjang nan terasah terang. Itulah pengorbanan, dan apakah Ali mengeluh, menangis sambil mundur dan berkata “kenapa harus aku ? Aku masih terlalu muda untuk mati diatas ranjang, hanya beri aku kuasa membawa pedang ditengah padang, agar mereka tahu aku Ali yang syahid sebagai panglima perang. “ 
Tidak. Ia hanya mengangguk, mengiyakan. Berkorban bagi Ali adalah dengan mengalahkan ego duniawinya, mengalahkan cinta atas harta, usia dan segala hanya demi agama Alloh, atas cintanya pada Maha Cinta, dan atas gairahnya akan surga. Semua menjadi terasa tak seberapa untuk ia kobarkan, dengan langkah tegap ia berbaring menggantikan Nabi sambil menanti detik terpenggalnya kepala.

Cinta yang Berhimpun


Bila keluh itu tlah sampai diujung lidah, hendak tumpah, melihat kau tabah nan penuh gairah, aku malu, merunduk dan mematut kepantasan.
Kau adikku, yang ditetapkanNya berusia lebih muda, namun nyata begitu dewasa.
Dengan kepolosan tutur kata dan tulismu, menyemangati tanpa kau tahu, dengan segala pernyataan lucu, mengaku masih belajar, justru memberiku banyak pengajaran, tentang semangat, tanggung jawab dan konsitensi.

Untuk anggota bidang MCF nan penuh semangat. Semoga segala kontribusi kalian dinilai kebaikan oleh Allah. Tetap semangat. Tetap SIP (Solid, Inspiratif, Progresif). Terus bergerak, berinovasi hingga terwujud cita kita bersama untuk FISIP yang islami.

Dan untuk mereka yang rela berlelah, disaat yang lain tlah bermesra dengan istirahat penuh. Yang rela tersita waktu, tenaga bahkan materi, disaat yang lain berfoya, mencukupi hasrat yang kian diikuti kian tak terbatas.

Untuk kalian semua, semoga kian istiqomah, walau tak mudah. Semoga kian berseri karena tahu segala yang dilaku hanya bentuk kecil dari syukur atas nikmat dan cinta Nya yang purna.
Mencintai setiap pejuang dijalan ini, karena Alloh.
Dan merindu pertemuan ditempat semua mimpi, cita dan cinta menyatu. Ditempat yang imaji terliar pun tak mampu menggambarkannya, yang keindahannya tak mampu terlaksa bahkan lewat kata penyair ternama. Surga, tempat bernaung segala ketaatan makhluk Alloh yang dicintai dan mencintaiNya. Semoga diperkenankanNya kita terhimpun disana.

Sabtu, 06 Juli 2013

Tak Pergi



Pernah berpikir tuk pergi
Dan terlintas tinggalkan kau sendiri
Sempat ingin sudahi sampai disini
Coba lari dari kenyataan

Tapi ku tak bisa, jauh, jauh darimu

-SLANK- Ku Tak Bisa

Iya, ini lagu galau, tapi postingan ini bukan tentang kegalauan sepasang kekasih. Jauh sekali dari perkara itu.

Bicara tentang pergi, bicara tentang hati.
Bicara tentang memori diri.

Diri ini dengan segala keakuan, ego dan emosi yang tak menentu, kadang surut namun lebih sering pasang.
Diri yang sempat juga berpikir pergi. Meninggalkan rumah, ukhuwah, dan saudara seakidah.
Diri yang sempat merasa tak lagi memiliki eksistensi, tersakiti hingga diam-diam menangisi emosi.
Diri yang marah pada waktu, ruang dan daya tampung yang tak lagi punya daya menampung.


Rabu, 03 Juli 2013

Aku mengaku


" Ditempat ini, kamu bisa memilih menjadi sebaik-baiknya manusia, namun kamu juga bisa memilih untuk menjadi seburuk-buruknya manusia. " -Rahayu Lestari-

Kalimat awal saat perkenalan, kau seperti memberiku dua kunci dengan dua pintu dikanan kiri, aku terdiam, bingung, dan mulai memetakan asaku kelak.

"Apa cita-citamu ?" -masih Rahayu Lestari-

Kali ini aku menjawab dengan rentetan kalimat, cita-cita duniawiku yang penuh gelora. Kau tersenyum.

Cinta Rabbku


Bagi wanita, cinta itu untuk dikata. Bagi pria, cukup dirasa saja.

Karna itu bunda, saatku luka, aku rindu kata mesra penuh kasih yang kau bagi. Tapi dengan ayah, aku hanya butuh bersandar, pada punggungnya yang lebar.
Karena itu bunda saat kita bicara dalam sambungan telpon setiap hari, aku hanya ingin mendengar sambil berbinar, karena kasih sayangmu begitu legal, lugas kau gambar. Tapi dengan ayah hanya senyum simpul dan bermegah-megah mekaran bunga dalam hati tercipta, karena ia berbelit, banyak terdiam, berkali terlupa dan lebih sering bertanya.

Cinta kalian membuatku membayang, jika cinta antar hamba bisa begitu candu dan syahdu, lalu seperti apa sesungguhnya cinta Rabbku ?  Tentu lebih Kuasa, lebih Maha. Maka izinkanku memadu kasih denganMu, Rabbku, duhai Dzat perwujudan rasa. Lewat ramadhanMu, lewat selaksa momen yang Kau cipta, bagi kami, hambaMu.

*Catatan kecil, wujud rindu hati, sambil berproses memperbaiki diri ,menanti Bulan Suci.

Senin, 24 Juni 2013

Memoar


Kata mereka berhenti saja, jembatan itu rapuh dan jalan didepan begitu gelap.

Aku merangkul Ibu, dengan gemeretuk gigi yang kucoba samarkan, kutatap wajah adik dengan senyum tanda siap menjadi pegangan.

Haruskah menyerah ?

Ada bisik masgul yang terlepas dalam lirih doa Ibu, ada isak tertahan dan bekas jejak tangis dipipi adikku.
Haruskah berpangku tangan ?

Lelah rasanya saling berpura, seolah semua baik-baik saja.

Jumat, 21 Juni 2013

Senyum, Kehadiran dan Kehidupan


Akhir adalah kepastian, karena awal adalah penantian.

Meminta berhenti dipertengahan hanya berarti mengimani kebohongan.

Layaknya cinta yang berarti pilihan, maka biar saja kebencian beranak, bertumpuk lalu mati hanya dengan sebuah ketulusan senyuman.

Semua miliki peran, ular yang perlahan mengintip, melata dengan desis berbisik menanti seekor tikus terlelap kekenyangan untuk jadi korban;
Rumput yang lupa disiangi, hingga besar membunuh sang inang.

Aku hanya satu diantara ratusan, ribuan jiwa-jiwa kecil nan malu, yang malam-malam melamun sambil terbangun cemas namun penasaran akan panas, dinginnya masa depan.
Aku hanya satu nama diantara tumpukan kartu tanda pengenal, yang jatuh berserak setelah dompetku dicuri orang.

Aku hanya kesederhanaan, yang kecil sendiri, namun tanpa jemu belajar, tanpa lelah berharap dan mendendangkannya lewat doa-doa dalam hati.
Karena aku memilih bangkit, meski kaki kecilku kadang tak mampu menopang, karena aku menolak lupa akan arti senyuman, kehadiran dan kehidupan.

*Kelak aku yakin kau mampu menunjukkan senyum kebanggan atas sukses yang mampu kau raih. Sampai waktu itu tiba, jangan menyerah, jangan berhenti berharap, jangan kecilkan kemampuanmu.
Semangat. Bisa !!

Didedikasikan untuk Mariska. 10 Juni.

Senin, 03 Juni 2013

Batas, Jelas


Perbedaan itu menjelma menjadi sebuah garis lurus, awalnya samar, omong kosong dan hanya berbuah celetukan, namun kian hari kian jelas, kian lurus dan tegas, sayangnya aku ada disisi berlainan, berbeda arah dan tempat aduan.

Pernah semua menjadi perkara kita, pernah menjadi pertimbangan, ditengah ilalang, angin musim penghujan yang membawa butiran air tercium samar, kian dekat dan berhembus menyapu riak-riak wajah kelelahan, kala itu sensasinya menenangkan.

Aku hanya tertawa. Tertawa miris rupanya.

Selasa, 28 Mei 2013

Dan Aku Tahu Alasannya


Gadis itu terdiam lagi, menutup pintu dan memagarinya dengan pecahan kaca bening yang tajam. Tak menghidupkan lampu, tanda enggan diganggu.

Aku mengintip, menyelidik, mencoba mencari tahu dan turut campur.

Kau ingat apa isi percakapan serius terakhir kita ? Tentang pagar yang kau bangun untuk melindungi dirimu yang sebenarnya.

Kini, entahlah melankolik tengah memelukku rapat atau rasa rindu untuk bicara seperti dulu bergema kuat ? Aku tak mengenal dan merasa familiar dengannya.

Kesibukkan, teman baru dan kehidupan yang lebih membahagiakan kini kuharap kau kecap. Tlah banyak tangis, bentak tak enak, acuh mengeluh, dan gundah yang tak mampu terbagi kau rasakan, kini kutersenyum dalam diam, dalam rindu yang hanya mampu kugumamkan, dalam lirih doa dan sepenggal nama.

Kamis, 23 Mei 2013

Gamang



Membacanya membuatku kian gamang, namun sayang tali telah terulur keluar.

Bolehkah aku menjadi egois, tak peduli pada bertumpuk harapan dipundak ?

Membangkang untuk kemudian terbang bebas, menjangkau dunia baru, wahana bermain seru yang benar membuat mataku terpaku gagu dan mendecak seru.

Aku telah bertengkar dengan Andai, karena berkali aku terseret tak mampu menghindar dari kekecewaan yang tak berpagar penghalang.

Bagai batere radio tua, gejolak itu membuatku terpental-pental oleh hasrat, sementara tubuh tuaku kian reot dan tak kuat.

Bolehkah kubisikkan diam-diam pada takdir atau perlu bertaruh dengan masa depan hanya untuk sebuah kata keterlambatan ?

Ah, aku kembali pesimis, setelah bertumpuk buku, beruntai kata dan penggalan kalimat mengusik tidur dan mengintervensi pikiran, kini tinggal aku dan bingung, mencoba menebak apakah masih ada waktu untuk asa atau hanya sia untuk kata aku tlah mencoba.

Selasa, 21 Mei 2013

Pendidik, Pendidikan, Berpendidikan






Pagi ini nuansa belajar mengajar masih kita dapati, diskusi-diskusi panjang dengan jubalan opini-opini baru dari para pakar sedang digodok matang dan dibagian lain terpisah jarak dan daya pandang sedang duduk berjubel anak-anak sekolah dengan seragam terbaiknya.

Pendidikan masih merupakan nafas tanah ini, meski kebobrokan tak jua meluntur dan berangsur pergi, berita terakhir tentang pendistribuasian soal dan pencabutan adanya Ujian Nasional di Sekolah Dasar menjadi salah satu topik seru.

Bagi kita para mahasiswa yang sedang menjalani proses panjang pendidikan mungkin terasa miris dengan fakta lapangan sekarang yang tak sesuai amanat pendidikan. Kusut masai praktiknya seakan membuat kita lupa dengan tujuan sejati proses pendidikan itu sendiri.

Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bunyi pasal 33 ayat 3 UUD.

Sedangkan pada UU Sisdiknas 2003,disebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk

Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab .

Namun sayangnya ranah filosofi dari pendidikan ini seakan tak tersentuh, tergusur oleh nilai kognisi yang mengabaikan nilai-nilai karakter dan afeksi.

Pendidik sebagai punggawa vital atas tertransfernya nilai-nilai yang humanis dan berkarakter tentu diharapkan mampu meningkatkan kualitasnya,

Riilnya bagi kita manusia-manusia yang tengah menjalani proses dan mengaku sebagai makhluk berpendidikan tak hanya acuh, apatis atas PR besar perbaikan Negara ini, pendidikan tak hanya menjadi ranah mahasiswa FKIP, tak hanya menjadi tugas dosen dan guru, atau para penampu kekuasaan di istana, ini mega proyek perbaikan, menjadikan pendidik mamahami betul apa itu pendidikan hingga mampu menghasikan output siswa, mahasiswa, manusia-manusia terdidik yang tak hanya hapal rumus dan teks pelajaran namun juga memenuhi nilai-nilai karakter yang penting agar terciptanya manusia-manusia berpendidikan yang tak hanya cerdas namun juga bermoral.

Penutup, mengutip pengantar untuk buku Kelasnya Manusia, karya Munif Chatib dan Irma Nurul, Mizan, 2013
Banyak penelitian mutakhir telah menunjukkan betapa, bukan hanya pencapaian kebahagian fisik, mental, dan spiritual, bahkan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dan kesuksesan karir individual lebih banyak ditentukan oleh kapasitas reflektif (sekaligus kreatif) dan kekuatan karakter (moral).

Minggu, 19 Mei 2013

Pakaian Utuh



19 Mei 2013, sayang bila tak diabadikan, sebuah momen besar untuk kami, dalam kebersamaan ini.

Cinta kupikir dulu kata benda, ia bebas dibawa dan esok bisa dengan mudah untuk dilepas.

Dakwah kuduga hanya sunah, sunah bagi mereka yang berjenggot dan berkudung tebal gerah.

Rumah acapkali kuanggap istana mewah, dengan segala kebutuhan tlah tersedia dan para punggawa untuk mengabulkan segala perintah.

Dan ukhuwah, apalagi itu, kukira hanya sepatah kata dengan makna absurd lagi tak terbaca. Hanya wacana.

Tak terbayang apalagi terterka diawal akan terlewatkannya masa, berbagi gejolak rasa, sempat tersirat rasa jengah, sakit hati, kecewa, tambal sulam kanan kiri, akhirnya kaulah yang menggenggam tangan ini sampai pada momen terakhir.

Kamis, 16 Mei 2013

Penyair Laut



Kau tahu apa yang paling dirindu dan dibanggakan oleh penyair ? Kata syahdu yang mampu membuat rona merah dipipimu kian bertumpuk dan membisu malu menunduk.

Aku terdiam, memaksaku terpaku dan merasa kejang, pesona macam apa ?

Membuatku menerkamu dan mulai menarik simpul diri, lalu apa aku ?

Kian erat berarti telah kian terikat, bila rasa tak mampu lagi untuk digambar lewat kata, lalu pantaskah sebuah pernyataan membuat semua kian tersurat lebat.

Aku mendengus, coba untuk menghapus sisa sisi imajinasi yang kian berkuasa.

Karena aku takut, lama ku halau, sengaja agar hulu tak pernah mencapai hilir yang berarus kuat.
Aku takut hilang keseimbangan, terombang ambing menjadi destinasi dan identitas diri, kala yang tak pernah kutunggu mencapai sisiku dan mendapat restu.

Maka biarlah sang penyair hanya terbang bebas, bebas merayu hingga ia lelah, hingga bersandar dan merindukan pulang menjadi impian, maka biarkan ia memilihnya, mencoba merebut atau menurut arus laut.

Kamis, 09 Mei 2013

Dalam Dekapan Ukhuwah, Mencintaimu Saudariku


Kita semua, anak adam, pernah melakukan kesalahandalam dekapan ukhuwah, kelembutan nurani memberi kitasekeping mata uang yang paling mahal untuk membayarnya
dikeping uang itu, satu sisi bertuliskan “akuilah kesalahanmusisi lain berukir kalimat, “maafkanlah saudaramu yang bersalah 
Salim A Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah 

Kumpulan frasa ini mencekikku kuat

Seperti memintaku membuka pintalan masa awal kita kenal

Kau tau ukhti, jelas sangat tahu bagaimana aku yang penuh luka dan kecacatan rasa, kau sentuh tangannya dalam jabat mesra tanda kita tlah saling kenal nama
Bagaimana aku dengan segala keburukkan dan ketidaktahuan kau tatih perlahan menuju sebuah proses pemaknaaan

Kita melewati prosesnya bersama, di surau itu, senja kian beringsut datang, kita membentuk lingkaran dengan akhwat-akhwat berkerudung rapi dan berwajah bercahaya penuh keimanan, ukhti cantik sang pengkaji memberi kita cerita yang begitu menyentuh sanubari, membuat kita malu akan kualitas diri yang selama ini kita pikir tlah mumpuni, tlah memadahi untuk membuktikan cinta yang purna pada Ia Sang Maha Esa.

Senin, 06 Mei 2013

Kala Bila



Kala, bila denganmu aku tak jua bosan

Kala, saling menggenggam dan melengkapi aku tak jua penat

Bila, kau panggil dengan merdu suaramu, aku hanya mampu kelu

Bila, kita tlah merajut rindu hasil rangkai benang hidup yang tak kendur maupun lapuk

Kala dan Bila tlah menjadi sepasang frasa tanya atas keambiguan dan penyesalan yang nyalang meminta korban.

Aku menjadi saksi tepuk riuh pergulatan kata yang terhimpun dalam dendang keras yang tak lagi malu untuk menusuk, tak lagi rikuh menghunus pedang dengan Kala dan Bila dimana-mana, tersebut berkali seolah menunjukkan kedikdayanya.

Nyatanya, Kala dan Bila disudut dunia sana, yang tak terjamah dengan kebisingan apalagi sorak berlebihan tengah berpegangan, mesra, seolah lupa dalam arena kadang mereka menjadi lawan yang tak kenal kemanusiaan, aku mengintip malu-malu, takut mengganggu, dan kini kisah itu kuceritakan padamu, kisah terlarang Kala dan Bila, yang entah kapan akan terkuak kebenarannya, aku hanya mampu menyambung ilmu, mencari pemahaman baru akan dunia yang terlalu penuh dusta, beragam tawa tak tulus dan jabat dengan seringai melebar dibelakang.

Aku hanya mampu jatuh kasihan, melihat di ujung peraduan, sisa sore itu mereka mesti berpisah, melambaikan tangan dan berpura-pura memasang wajah datar untuk kemudian kembali menjalani siklus yang telah  tertetapkan yang tak mampu dibekukan.

Apa Mau Mu Hatiku ?


Siluet remang itu lagi, terkias hitam dan bergerak kasar

Aku menantinya, menunggu untuk melihat dalam bisu, untuk menyibak rahasia dan kebungkaman yang kian menyiksa

Kenapa aura mengundang kecemasan masih terasa dari jarak yang berkisar kesekian

Cemas ataukah ada yang ditakuti, wahai bayang hitam tak bisakah sejenak kau jawab pertanyaaan ?

Kala malam itu akhirnya tlah ku jumpai jawab dari suara serak bayangan, itu aku, wajah dan tubuh menggelap
Begitu menyedihkan

Ia menuntut, kenapa kau gadaikan semua dulu ? ia berteriak nyaris membuat telinga tuli karena pekak
Ku kernyitkan dahi tanda tak mengerti

Dimana kau letakkan iman itu ? disudut belakang hati yang jarang kau tengok dan peduli ? atau malah tlah kau gergaji dan pasung dengan simpul mati ?

Minggu, 05 Mei 2013

TITIK TEMU


Terlalu banyak alasan yang ditawarkan ataukah pembenaran karena wangi dunia dan hiruk pikuknya masih begitu silau untuk ditinggalkan ?

Masih begitu mudah kata nanti, esok dan alasan manis terbungkus kiasan-kiasan yang dilontarkan dengan nada tak ikhlas, kepayahan, dan dengus bosan dibelakang.

Itu membelenggumu, kian jelas racau setan untuk melepas segala perlindungan.
Sementara tidakkah ingat yang Alloh janjikan lebih dari sekedar sepoi nikmat angin berhembus menyentuh kulit, lebih manis dari sekedar tatapan iri dan lontaran puja puji, lebih syahdu dari sekedar mendapat perhatian yang tak berdasar ikatan.

Maka nikmat manakah yang kau dustai ? Terulang untuk diulang, berkali-kali untuk dipahami, hingga hapal bukan hanya untuk diucap.                                                                          
Tidakkah merasa bahwa itu tanya untuk kita ? Untuk tiap inci kulit yang terburai tanpa penutup, untuk tiap bubuk gincu warna-warni ditingkahi kuas kecil terkembang diatas pipi, untuk tiap helai rambut nan suci yang tak terhijabi.
Kelak dengan inikah kita menghadap ? dengan keteledoran dan keacuhan atas segala pinjaman.
Karena Ia mencintai kita. Karena Ia zat yang mencipta, memberi rasa, raga dan harta hingga kini dengan segala ciptaNya, tak malukah kita berlenggok membuang muka atas firman Nya juga nasehat Nabi Sang pembawa risalah cinta.

Selasa, 16 April 2013

Terrorist ?



Ini hasil perenungan, perjalanan yang belum cukup panjang memang.

Aku mengeluh, mengeluh pada diri ini juga pada saudaraku sendiri, sesama muslim. Aku ingin bertanya, berteriak bila ku bisa, hanya untuk jawaban atas sebuah kata “mengapa ?”

Mengapa lebih percaya pada dunia jika telah tahu janji Allah pasti nyata atas surga ?

Entah sejak kapan konspirasi besar ini membentuk simpul terpercaya berlabel kongres bangsa-bangsa, ya seluruh dunia mengamininya, ketakutan itu merajalela, ketakutan pada muslim, pada mereka yang menjalankan syariah sesuai perintah.

Entah sejak kapan ia yang berjenggot tebal dan berkerudung hitam lebih kita takuti daripada mereka para pakar liberalis, hedonis yang dengan seringai licik menyelipkan bom-bom pikiran pada tontonan kita, menjajah kesehatan makanan kita, menggempur batas halal haram kita, meleburkan semua batas seakan abu-abu itu gaya baru, seakan beriman dianggap tak jaman, dan yang berjuang dikatakan sarang keburukan. Fanatik pada yang baik ditakuti, dijauhi, dikecam sampai antipati, sedangkan ia yang menawarkan kebebasan, indahnya duniawi, kita jadikan tontonan tiap hari, kita bela sampai mati hingga tak jarang kita berani pertaruhkan iman, nurani hanya demi sebuah label trendy atas gaya masa kini.

Jumat, 12 April 2013

Perpisahan



“Penyejuk mata, pengobat hati itu disebut keluarga”

Malam ini jatuh terduduk merindu, butiran bening membuat mata kian buram seolah selaput berkabut membentuk kaca semu.

Aku pilu. Pertama kalinya merindukan kalian semua secara bersamaan, dan aku tak tahan untuk tak menulis, membocorkan wadah hati, takut sesak kian menyiksa jika keluar dengan isakan.

Saudaraku, yang entah apa artiku bagimu. Perpisahan yang kini tlah sama kita jalani, membuat kita saling terpisah diri, memaksa kita berlari dalam lintasan masing-masing, bermetamorfosa rupa, sifat dan sikap kita. Ilmu dan pengalaman membuat kita kian gemuk, menderita disana-sini, lalu berbagi tawa dengan mereka wajah-wajah baru. Kian dewasa dan termakan usia, melewati tiap babak kehidupan dengan kecemasan dan prasangka bias akan kehidupan didepan yang tanpa perjanjian.

Perpisahan itu tak menimbulkan banyak kata sayang dan air mata diawal, tapi entah kini saat episode membawaku pada pertengahan, semua kata cinta terasa ingin kubagi bersama, duduk-duduk dan saling diam. Ya, karena hanya diam yang mampu mengejawantahkan saat kata tlah kelu untuk ku utarakan, sambil menatap wajah satu persatu, mengais kembali memori lama tentang seperti apa kalian dulu, menarik bibir dan berkata “Ah.. Tlah banyak yang berubah.”

Minggu, 31 Maret 2013

Kasih, Berkorbanlah


Kasih itu menggetarkan hati, Ya Rabbi. Jika secercah sayang yang kau titipkan di segumpal daging bernama hati, kalbu kami, sebegitu meneduhkan dan menghadirkan tarikan senyuman, maka apakah yang menghalangi kami untuk mencintaimu sang pemilik hati, pemilik diri ?

Pengorbanan itu memanggil riak-riak air dipelupuk mata untuk berkumpul, menggumpal, menggendor-gedor keluar, menyaksikan karena cinta manusia rela mengorbankan semua, lalu apakah yang membuat kami tak rela berkorban waktu, harta, dan jiwa pada Mu, Kasih ?

Bukankah hanya cinta yang mampu menebus cinta, lalu apa yang selama ini kami lakukan, menangguhkan hutang pengorbanan, cinta dan kasih yang besar ?

Minggu, 17 Maret 2013

Tersengat


Puluhan bola mata itu terbelalak lebar, dengan deru napas yang sama, tarikan bibir yang kurang lebih memiliki makna yang serupa, mengeja niat untuk menghamba.
Kami yakin pada Mu Ya Allah, kami tahu Nabi kami tak pernah dusta.

Terima kasih padamu sang Da'i, hamba Allah yang tlah bersedia berbagi, tlah menjadi pemantik bagi jiwa-jiwa labil kami yang penuh kegamangan, pada tiap sangka yang terlontar atas fatwa yang selalu ribut saling berebut, kami kalang kabut tak tahu mana yang mesti kami gigit kuat dalam niat, satu persatu hati kami tereenggut, merengut karena yang kami lihat kami sangka sebagai wajah agama ini yang sebenarnya.

Itulah masalah kami para sok tahu, saat tanya terlontar pada yang bukan ahlinya, saat ketidaktahuan berbalas acuh dan gelengan kepala tanpa minat, pundak-pundak kokoh kami pun menjadi lemas, terbias. Dan perlahan kami pun mulai kehilangan minat, berguguran, sibuk mengurus dunia atas nama sejahtera semata, mulai kami sampirkan sejadah di belakang pintu, ditemani karat paku dan rayap pemakan kayu, perlahan kami lontarkan  alasan, pembenaran atas kesalahan yang tersingkap di mata, dan kami masih merasa baik-baik saja, tanpa ingat siapa pemilik mulut kami yang congkak mencaci, siapa pemilik kaki kami yang enggan beranjak saat muazin serak mengumandangkan panggilan menghadap, kami bahkan lupa siapa pemilik semesta tempat kami sombongkan harta, rupa, dan tahta semata.

Terima kasih Da'i, atas kesediaan saling mencintai karena syahadat itu tlah sama kita ucap, karena nama muslim tlah sama kita sandang, karena hati itu tlah saling terkait tanpa perlu satu persatu berebut saling berjabat tangan dan melontarkan sapaan ringan.
Karena nasihatmu dari hati yang peduli bagai sengat lebah bagi jiwa-jiwa kecil nan tandus ini, kami tersengat, tersengat untuk mencintai Illahi, mencintai Nabi dan terus memperbaiki diri. Tersengat untuk menangis, menahan perih, hingga sedu sedan, mengingat waktu yang tersiakan tanpa tahu tujuan besar yang tlah Allah persiapkan.
Terima kasih Da'i atas sengatan semangat, dentuman-dentuman jantung yang berpacu, niat yang terukir, dan doa yang tersampir atas nama hati yang terpaut dalam janji pasti, jayanya islam kini dan nanti.

Ust. Felix Y. Siauw atas inspirasi tak bertepi, terima kasih tlah berbagi.

Sabtu, 16 Maret 2013

Merindumu, Masa Lalu


Beri aku waktu untuk berbagi peluh dan isak lesu yang tak lagi tergugu, aku merindumu, masa lalu. Merindu segala tingkah polos dan endusan napas kesalmu, aku rindu rengekanmu tanda kau minta dirayu.

Karena bergerak dan berubah adalah keniscayaan, diantara malam kesekian yang telah lewat dan akan terus berlari untuk menjalankan kehedak Sang Kuasa, kukirim sepenggal syair sederhana menemani perjalananmu, membantu mengusap peluh, atau setidaknya menimbulkan senyum kecil penghapus lelah sesaat.
Aku merindumu masa lalu, mengenang dan mulai berlari kebelakang menyeret ingatan dan bayanganmu yang kian samar, menggandengmu menuju taman asa yang telah kita tulis sekian lama, mengingatkanmu untuk terus maju dan tak mau kalah dengan ketidak jujuran dunia.

Bagaimana nantinya kita, kau dan aku tahu tak perlu lagi untuk menipu waktu, karena tlah melewati segala kecemasan dulu menjadi penandai proses kita terus berjalan. Tak perlu mengeluh tentang ketidak adilan dan segala usaha yang tlah kau keluarkan, karena aku tak butuh segala pembenaran, aku hanya butuh kamu menjadi sebuah ada, menjadi tak lagi imaji yang tak pernah bisa aku kaji.

Senin, 18 Februari 2013

Kala Umi jadi Inspirasi



Kau cantik, Umi. Cantik dengan jilbab panjang yang kau kenakan dengan penuh ketaatan.
Kau kian cantik, Umi. Cantik karena kau patuhi Allah dan suami.

Kau bercahaya. Bercahaya dengan pancaran cinta dan doa dari anak-anak yang kau sayangi dengan tutur sempurna.
Kau kian bercahaya, Umi. Oleh karena hafalah ayat dan hadis tiap hari.

Keringat dan doa tak lepas kau jadikan pegangan, kau genggam dan biarkan ujungnya terulur keatas menuju Arsy nya, menuju putih suci kasih Illahi.
Maka Ia ingin kau berdoa, karena lafal cintamu Umi manis syahdu mengusik rindu. Maka biarkan aku sejenak tersedu di bahumu, mendekap kehangatan dari panasnya cacian dan nada sinis diluar.