Senin, 10 April 2017

Pemuja Kebahagiaan

picture from pinterest

Sejak kecil kisah sang putri yang hidup bahagia selamanya adalah mimpi tiap kita. Bahagia dalam definisi memiliki suami pangeran, tinggal di istana dan bangun tiap hari tanpa takut mendengar cerca ibu tiri dan teriakan saudara perempuan.
Saat Ibu menutup buku, kamu menutup bibir membentuk garis lurus, Tersenyum. Membayangkan kelak masa depan bagai sebuah garis lurus yang kamu tempelkan tujuan hidup di ujungnya, bahagia.
***

Bahagia apa harus selalu hal yang terungkap mata? Apa harus selalu terlihat rupa dan bisa disentuh tiap jari dan indera?
Tidak bisakah, jatuh cinta yang penuh luka, mimpi-mimpi yang entah kapan tecapai, keinginan besar untuk belajar sesuatu yang baru atau  keberanian mengatakan kebenaran menjadi definisi baru dari kata bahagia?
***

Kenapa kita harus takhluk pada definisi-definisi, pada kata yang bisa diucap dan diciptakan sendiri? Seperti kamu yang boleh saja bahagia karena segera menikah, menjadi Ibu bersama suami yang tampan dan mapan maka dia yang mencurahkan seluruh jiwa nya pada tanah, sungai, anak-anak terlantar dan kampanye anti keserakahan juga punya bahagianya sendiri, kan?
***

Bahagia yang lalu sama-sama kita bagikan dengan meremas-remas kertas luka hingga tidak bisa dibaca. Bahagia yang kita susun penuh warna lewat senyum, cerita dan media sosial. Sedang di sisi lain, tiap orang pada malam yang sunyi, masuk ke pojok hati paling dalam, membesar-besarkan hati. Mengatakan berulang kali untuk jangan menyerah.

Apapun bahagia versi kamu, percayalah ia layak kamu perjuangkan. Dengan upaya sehormat-hormatnya atas nama waktu yang diberi, dengan upaya sebaik-baiknya tanpa meremehkan mimpi orang lain. Karena kita semua pada akhirnya harus mengakui, kita hanya pemuja kebahagiaan yang dengan perlahan ingin menyelesaikan ritual. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar