image by pinterest |
‘Aku tidak
pernah memilih dilahirkan sebagai perempuan’, gumammu senja itu.
Begitu datar,
tidak terbaca.
Aku diam
karena bingung memberi balasan atau kamu memang tidak butuh itu?
Lalu seperti
senja hari-hari sebelumnya, kita mengisi tiap pertemuan dengan lebih banyak
diam.
.
Sebagai seorang
lelaki lumayan mapan di usia matang, aku telah mengenal banyak macam dari kaummu.
Hingga aku
bisa menyimpulkan satu pernyataan, ‘kalian semua bagaimanapun beda rupa, latar
belakang, karakter dan lainnya selalu punya satu pandangan yang serupa.’
.
Malam yang
sama saat aku melihat wajahmu lebam, di tengah getir cerita, aku masih
menemukan pandangan itu terbersit lewat matamu.
‘Kamu
perempuan yang kuat’, berkali aku mengatakan kalimat berharap bisa menjadi
mantra yang menutup luka hatimu yang menganga.
Meski air
mata jatuh satu-satu, aku tidak menemukan amarah di sela isakmu.
.
Seminggu setelah
kamu pergi tanpa kabar, ada sebuah pesan masuk ke telepon seluler hitamku.
Aku
memutuskan memaafkannya dan kembali. Terima kasih untuk semuanya.
Pesan yang
begitu ringkas namun jelas. Kamu telah memutuskan hal yang sejak awal sudah ku
duga akan terjadi cepat atau lambat.
.
Malam itu
dan malam-malam sebelumnya pun, entah dengan lebam atau bengkak yang baru,
sekali pun kamu menangis dan terlihat rapuh. Aku tahu kamu masih lah perempuan
yang sama. Perempuan yang tersenyum cerah memberi undangan pernikahan warna
merah muda. Perempuan dengan mata berbintang yang mengabarkan kehamilan lewat
telepon tengah malam. Dan tentunya, perempuan yang masih selalu memiliki cinta untuk
lelaki itu.
.
Dengan senyum
dan haru ku balas pesannya, ‘Hm, berbahagia lah’.
Perempuan,
bagaimanapun beda rupa, latar belakang, karakter dan lainnya selalu punya satu pandangan
yang serupa, seolah berkata ‘aku merindukan pelukan’.
Cerita 1/2
Cerita 1/2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar