Minggu, 23 April 2017

Untuk Perempuan yang Merindukan Pelukan


image by pinterest

‘Aku tidak pernah memilih dilahirkan sebagai perempuan’, gumammu senja itu. 
Begitu datar, tidak terbaca.
Aku diam karena bingung memberi balasan atau kamu memang tidak butuh itu?
Lalu seperti senja hari-hari sebelumnya, kita mengisi tiap pertemuan dengan lebih banyak diam.
.
Sebagai seorang lelaki lumayan mapan di usia matang, aku telah mengenal banyak macam dari kaummu.
Hingga aku bisa menyimpulkan satu pernyataan, ‘kalian semua bagaimanapun beda rupa, latar belakang, karakter dan lainnya selalu punya satu pandangan yang serupa.’
.

Malam yang sama saat aku melihat wajahmu lebam, di tengah getir cerita, aku masih menemukan pandangan itu terbersit lewat matamu.
‘Kamu perempuan yang kuat’, berkali aku mengatakan kalimat berharap bisa menjadi mantra yang menutup luka hatimu yang menganga.
Meski air mata jatuh satu-satu, aku tidak menemukan amarah di sela isakmu.
.
Seminggu setelah kamu pergi tanpa kabar, ada sebuah pesan masuk ke telepon seluler hitamku.
Aku memutuskan memaafkannya dan kembali. Terima kasih untuk semuanya.
Pesan yang begitu ringkas namun jelas. Kamu telah memutuskan hal yang sejak awal sudah ku duga akan terjadi cepat atau lambat.
.
Malam itu dan malam-malam sebelumnya pun, entah dengan lebam atau bengkak yang baru, sekali pun kamu menangis dan terlihat rapuh. Aku tahu kamu masih lah perempuan yang sama. Perempuan yang tersenyum cerah memberi undangan pernikahan warna merah muda. Perempuan dengan mata berbintang yang mengabarkan kehamilan lewat telepon tengah malam. Dan tentunya, perempuan yang masih selalu memiliki cinta untuk lelaki itu.
.
Dengan senyum dan haru ku balas pesannya, ‘Hm, berbahagia lah’.

Perempuan, bagaimanapun beda rupa, latar belakang, karakter dan lainnya selalu punya satu pandangan yang serupa, seolah berkata ‘aku merindukan pelukan’.

Cerita 1/2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar