Kamis, 04 Mei 2017

Menjadi Perempuan Indonesia, di antara Dilema Kesetaraan dan Kepatutan


 Gambar diambil dari pinterest
Hal paling inspiratif dari perjuangan Kartini adalah karena Ia melakukannya untuk kebermanfaatan dan kehormatan perempuan Nusantara bukan hanya kepentingan pribadinya.

21 April hanya akan menjadi parade kebaya dan sanggul jika kita lupa makna perjuangan yang sebenarnya. Atau hanya akan jadi sebuah pagelaran kontes minim renungan jika kita hanya sekilas terpukau pada kutipan-kutipan kata tanpa mau meneladani perjuangan dan kerja keras simbol perempuan Nusantara, Raden Ajeng Kartini, yang semoga selalu terberkati oleh Yang Maha Esa.

Menjadi perempuan bagi ku (dan mungkin dirasa juga oleh perempuan lainnya) adalah sebuah keberkahan sekaligus juga jalan terbentang panjang atas nama kehormatan dan kesetaraan. Menjadi perempuan Indonesia, khususnya, telah lama seolah digambarkan sebagai manusia kelas dua, yang tidak perlu terlalu cerdas, terlalu kaya, dan ter ter lainnya yang menunjukkan kelebihan hingga membuat laki-laki merasa kecil dan rendah diri.

Kami yang lahir dan hidup di daerah-daerah yang masih begitu kokoh menggigit nilai patriarki, sejak dulu sembari Ibu mengepang rambut atau mencari kutu, sudah ditiupkan pemikiran bahwa, ‘tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, pikirkan juga umurmu; belajar lah memasak dan mengurus rumah, kamu harus jadi istri yang baik; dan seterusnya.’
Apakah nasihat-nasihat yang seolah telah disugestikan dan masuk begitu dalam ke benak kami adalah sebuah kekeliruan?
***

Singkat cerita, anak-anak kecil dari daerah pun tumbuh dewasa, menjadi perempuan cerdas karena suka membaca dan jernih pikirannya karena mengambil kebaikan dan kebijakan tradisi serta unggah-ungguh nilai sosial yang bisa diterima dibanyak lokasi. Mereka bertemu dengan bermacam jenis manusia dari golongan laki-laki dan perempuan.

Kesetaraan, feminisme, perlawanan atas berbagai kejahatan asusila, menjadi makanan sehari-hari yang dijejalkan di zaman ini. Sebuah periode waktu di mana perguruan tinggi menjamur, ilmu berdesakan mencari tempat untuk dijajaki, berbagai kemudahan koneksi terlengkapi, namun kemerosotan moral kian menjadi.

Perempuan menjadi seolah santapan, daging segar yang perlu segera dihabisi dan disentuh sembarang saja. Mereka, perempuan-perempuan itu, baik yang berangkat dari desa maupun yang telah lama mengangkat bendera perjuangan, memutuskan melebur menjadi satu menuntut sebuah porsi baru dalam tatanan masyarakat, dalam kehidupan bersama, menjadi setara.

Perempuan dan laki-laki berhak mendapat pendidikan yang sama; diperlakukan dengan cara sama; perempuan berhak untuk melaporkan segala bentuk ketidak nyamanan baik hanya berupa lirikan, siulan apalagi hingga menyentuh dan mengganggu privasi; dan sebagainya.’

Apakah nilai-nilai yang perempuan-perempuan itu perjuangkan salah? Apakah menuntut sebuah kenyaman atas hak asasi nya adalah sebuah keburukan dan pelanggaran atas kepatutan menjadi perempuan yang telah lama dipegang nilainya oleh mereka yang menjalani patriarki?
***

Dan kawan, sembari menantimu menimbang dan memberi jawaban, aku akan menceritakan sebuah kisah, nyata karena aku tidak pandai menyusun skripsi eh cerita fiksi maksudnya.
Di desa kami, ketika banyak orang muda memilih merantau, pada suatu ketika kehilangan figur guru untuk mengajar mengaji. Tahukah kau kawan, di desa kami (dan hampir pasti di banyak desa lainnya) mengaji adalah seperti napas, kami memang nakal dan suka berkeliaran di sawah atau berenang di sungai meski telah diancam akan dipukul dengan gedebok pisang namun soal mengaji, kami tidak pernah luput atau sengaja berpura-pura sakit agar tidak datang.

Entah bagaimana lalu terpilih lah beliau, namanya Bu Suti. Perempuan dengan kulit legam, berwajah lebar, dengan senyum yang tidak pernah hilang dan kerudung panjang yang hanya berganti warna jika ada agenda penting di desa, yang lalu mulai mengajar kami.
Bu suti tidak seperi Kang Herman atau Nyai Has yang sering berkata keras dan memberi kami pelototan jika salah menyebut a dengan a’. Beliau entah dengan kesabaran macam apa, masih selalu tersenyum seolah maklum.

Dan setelah dipegang Bu Suti, kami tidak hanya diajarkan mengaji namun juga mulai diajarkan bernyanyi lagu-lagu nasyid. Pam pam, cuap, sembari mengeluarkan suara-suara lucu dari mulut dengan ditingkahi beberapa koreografi. Kami girang bukan kepalang. Belum lagi, Ia dengan suaminya, Cak Rohmad, berinisiatif menjadikan kami penampil utama dalam agenda Isra Mi’raj di desa. Meminjamkan kami baju (yang waktu itu tidak pernah aku pikir berasal dari mana) gamis bunga warna-warni dan perlengkapan lainnya. 

Beranjak dewasa, setelah aku cukup dewasa dan tidak lagi mengaji di surau yang kini telah berganti masjid (bukan karena aku sudah cukup pandai, tapi memang begitu lah peraturan tidak tertulis tentang usia anak masih boleh belajar di surau), aku baru bisa melihat Bu Suti secara lebih utuh. Beliau sudah kian menua, tidak lagi mengajar anak-anak mengaji karena di masjid baru kami konon sudah didatangkan alumni sebuah pondok besar khusus untuk mengajar mengaji.

 Gambar diambil dari pinterest

Bu Suti, ternyata sejak dulu bukan hanya memiliki tugas mengajar kami mengaji di sore hari, Beliau juga berjualan sayur dengan sepeda di pagi hari, membantu suaminya mencari rumput untuk makan ternak yang mereka angon di siang hari, mengajar kami dan kadang masih menerima pekerjaan membuat kue pesanan orang-orang yang memiliki hajatan. Dan kawan, haruskah ku sebutkan lagi, dengan segala kesibukan luar biasa itu tidak pernah sekali pun kulihat ia berwajah lelah atau masam.
***

Mari kembali pada pertanyaan-pertanyaan yang tadi aku ajukan, jadi kehidupan seperti apa yang kita, para perempuan harus jalani, mengikuti kesetaraan atau kepatutan yang diajarkan sejak dini?
Jawaban ku secara pribadi, aku dapati setelah menengok kembali kisah Bu Suti. Memilih menjadi istri lalu mengurungkan sekolah tinggi, memilih sekolah tinggi lalu bahkan tidak menikah sama sekali, atau apapun keputusan yang kamu, aku, kita ambil sebagai pribadi, sebagai perempuan merdeka, jalani lah dengan sebaik dan sehormat-hormatnya.

Menjadi anak perempuan yang patuh, istri yang penuh cinta dan Ibu yang berpengetahuan lalu mendidik putra putri penerus dengan moral terbaik dan atau menjadi perempuan penuh karya yang membuat mata dunia terbuka atas kesetaraan yang kian nyata, melawan tiap penindasan diberbagai negeri, menghukum tiap pelaku kejahatan asusila dan kekerasan pada perempuan dengan membuat dan meresmikan aturan, juga membuat sekolah, tempat-tempat perempuan lain belajar dan hidup dengan nyaman, adalah perjuangan kita sebagai perempuan Indonesia yang tidak bisa saling dibenturkan atau bandingkan.

Karena seperti Kartini dan sebagaimana dikutip dalam ayat Al Qur’an, sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya untuk sesama.

Catatan:
Gambar yang digunakan adalah gambaran dari tulisan. Penulis tidak memiliki foto milik pribadi yang mampu mendukung cerita.

Tulisan ini diikut sertakan dalam Kompetisi Menulis "Menjadi Perempuan Indonesia" yang diselenggarakan oleh Tribunnews.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar